gravatar

Chapter 14 - Penerbangan 05


Saya memasuki pesawat berwarna merah dengan strip putih di sekelilingnya, di kaca belakang pesawat tertulis ‘Ku Tunggu Jandamu’. Apa maksudnya? Entahlah, mungkin hanya Pilot yang tahu.

Saya memilih tempat duduk dekat jendela, maklum saya merokok, lagipula pesawat ini memang non-AC. Sementara Poleng memilih selonjoran di depan toilet. Ada 2 keuntungan bagi Poleng memilih tempat disitu, pertama, ketika petugas pemeriksa tiket datang, ia bisa langsung bersembunyi di toilet. Kedua, memang sepertinya Poleng mulai terserang sakit perut karena rujak yang dimakannya di bandara.

Tiba-tiba Mas Slamet duduk di sebelah tempat duduk saya. Masih dengan rompi penuh bom.
assalamu ‘alaikum”, sapa Mas Slamet sambil menyalami tangan saya erat-erat.

wa ‘alaikum salam”, jawab saya mantap.


Pesawatpun telah berada di angkasa, ketika saya membuka percakapan dengan Mas Slamet. “kemana aja, Mas? Ga pernah keliatan jualan”, tanya saya.

“ah, mencari kehidupan akhirat lebih utama dibanding kehidupan dunia”, jawab Mas Slamet santai, sambil membetulkan posisi bom pada rompinya yang sedikit salah posisi.

“sekarang mau kemana?”, tanya saya lagi.

“jihad, melawan orang-orang kafir!”, pekik Mas Slamet seraya mengepalkan tangan dan berdiri di atas kursi.

Teriakannya itu membuat para penumpang lain memandang heran ke arah kami, sehingga seorang pramugari datang menghampiri.

“maaf Pak, jangan ribut…. Pilot sedang tidur”, seru pramugari dengan nada ramah sesuai prosedur. Mas Slamet kemudian duduk lagi setelah mengucapkan permohonan maaf.

“emang Mas udah siap mati?”, tanya saya, kali ini sambil berbisik ke telinga Mas Slamet.

“tidak diragukan lagi… setiap orang beriman, pasti sangat merindukan pertemuan dengan Allah”, jawab Mas Slamet sambil berbisik juga ke telinga saya, sehingga menimbulkan rasa geli karena janggutnya menyentuh leher saya. Ketika kami saling berkomunikasi dengan gaya berbisik-bisik, seorang ibu pembawa keranjang sayur yang duduk di seberang tempat duduk kami, kemudian berdehem “ehm……ehm”, sambil senyum penuh arti, mungkin dikiranya kami termasuk golongan penyuka sesama jenis. Tapi kami tidak peduli, dan menghiraukan fitnah si ibu tadi.

“emangnya Mas Slamet ga takut cacing?”, tanya saya masih penasaran akan keyakinan jihad Mas Slamet.

“hah… cacing?”, Mas Slamet balik bertanya seolah tidak mengerti maksud pertanyaan saya.

“iya, kan di dalam tanah banyak cacing”, kata saya menjelaskan.

antum ini bagaimana?!?, orang mati itu memang jasadnya di dalam tanah, tapi ruhnya sudah ada di alam kubur… beda dimensi!”, jawab Mas Slamet tegas tapi masih dengan cara berbisik.

“memangnya di dimensi lain ga ada cacing?”, saya bertanya lagi.

“ga tau lah…!”, jawab Mas Slamet mulai kesal.

“katanya udah paham tentang kehidupan akhirat, tapi kok ga tau masalah kaya gitu?”, sindir saya.

“ya udah saya jawab, disana juga ada cacing! Puas antum?”, balas Mas Slamet sepertinya tidak mau kalah.

“trus Mas ga takut?”, saya masih ingin tahu, apakah Mas Slamet memiliki keberanian menghadapi cacing.

“udahlah…. ngapain juga ngurusin cacing!”, seru Mas Slamet, posisi duduknya mulai membelakangi saya.

“kan cacing juga mahluk Tuhan, kalo pengen diurus sama Mas Slamet gimana?”, saya masih bertanya.

“ya udah…. Saya urus!”, jawab Mas Slamet nadanya mengeras, sehingga para penumpang kembali memandang ke arah kami.

“ternak cacing maksudnya?”, saya masih bertanya penasaran.

“hey, antum jangan mempermainkan saya!!”, kali ini sepertinya Mas Slamet mulai kehilangan kesabaran. Wajahnya memerah dan tangannya siap menekan tombol merah, itu bukan untuk voting acara lomba di televisi tapi untuk mengaktifkan bom di rompinya.

“hey kalian!, saya perhatikan dari tadi kalian mengobrooool saja!!!”, itu yang berkata adalah Pilot yang tiba-tiba sudah berdiri di depan kami. Kamipun langsung terdiam membisu sambil menundukkan kepala, bukannya takut sama Pilot tapi kami takut orangtua kami nanti dipanggil. Kasihan, kami tidak mau orangtua yang jadi korban.

“Slamet, coba kamu pindah duduknya ke depan!”, perintah Pilot dengan tegas. Akhirnya Mas Slamet pindah ke depan, di depan meja Pilot. Ia berjalan dengan wajahnya yang masih tidak berani diangkat.

Penerbangan sudah memakan waktu 3 jam, sayapun mencoba untuk tidur sampai akhirnya ibu pembawa keranjang sayuran  berdiri dari duduknya dan berteriak “Kiri…. Kiri”.

“didepan… didepan”, Pilot balas berteriak dari ruang kemudi.

“eeh gimana sih…. Udah kelewat jauh!”, seru si ibu marah sambil melihat ke arah jendela dan tangannya terus memukul-mukul kap pesawat.

Pilot merasa kesal dengan ulah si ibu, sehingga pesawat ia rem sekaligus. Akibat kejadian ini, 3 penumpang langsung tersungkur, 2 lagi terbentur kepalanya, dan 1 orang dinyatakan hilang. Sementara pesawat lain, yang tepat berada di belakang pesawat yang kami tumpangi bertubi-tubi membunyikan klakson. Sebuah helikopter langsung menyalip, dan Pilotnya membuka jendela sambil berteriak “Tolol! Yang bener dong kalo nyetir!”.

Pilot kami begitu sabar, tidak membalas hardikan itu, ia hanya kesal pada penumpangnya, sambil berkata “ayo cepat, Bu!”. Pintu pesawat langsung terbuka, si ibu pembawa keranjang sayur itu langsung melompat dan terbukalah parasutnya.

Setelah peristiwa itu, sayapun melanjutkan tidur. Tapi baru juga masuk ke alam mimpi, sebuah suara merdu membangunkan tidur saya yang bersahaja.

“maaf mengganggu, boleh saya duduk disini?” ternyata itu suara muncul dari seorang perempuan. Ia berbicara dengan bahasa Spanyol, tapi saya alih bahasakan, karena pasti kalian tidak akan mengerti. Perempuan yang berdiri itu bermaksud untuk duduk di samping saya. Dia sangat cantik, saya belum pernah menemukan kecantikan yang seperti dia, mengalahkan kecantikan baik Mimin, Cindy maupun Neng Dedeh.

“oh silahkan..silahkan”, kata saya cepat, takut dia berubah pikiran.

“mak…emak… tolong pindah duduknya!”, kata saya sambil menggoyang-goyang tubuh seorang nenek yang tertidur di samping saya, yang tadi menempati tempat duduk yang ditinggalkan Mas Slamet. Si nenek langsung terbangun, wajahnya polos, mungkin setengah jiwanya masih ada di alam mimpi.

“pindah kemana?”, kata si nenek masih setengah sadar.

“kemana saja, yang penting pindah!”, saran saya bijak.
Si nenek langsung beranjak pergi, dan saya mempersilahkan wanita cantik itu untuk segera duduk.

“kenalkan, nama saya Luna”, ujar perempuan cantik itu sambil tersenyum sesaat setelah ia duduk, ada gemuruh berkecamuk di dalam hati ini ketika melihat senyumannya.

“ke Malvinas?”, itu kata saya, 100% basa basi.

“iya, saya memang tinggal disana”, jawab Luna masih dengan senyum yang menawan.

Percakapan kami terhenti, ketika kami mendengar ada suara gaduh yang timbul dari arah baling-baling pesawat. Oh ternyata itu si nenek, yang ternyata pindah duduk ke dalam baling-baling, tubuhnya terkoyak, darahnya pun menciprati kaca-kaca jendela pesawat. Maafkan saya nek, tadi saya hanya menganjurkan untuk pindah tempat duduk, bukan menyuruh nenek untuk masuk baling-baling. Sayapun kemudian melanjutkan percakapan.

“saya baru tahu,  ternyata perempuan Malvinas itu  sangat cantik”, itu perkataan saya, yang dikutip dari buku ‘100 tips mendapatkan wanita idaman’, karangan Lord Bodden Powell.

“terima kasih, sebenarnya saya bukan asli turunan sana”, jawab Luna seakan mengelak.

“oh ya, dari mana?”, tanya saya dengan penekanan aksen agar terlihat dewasa.

“ibu saya Mexico, ayah Peru, kakek Uruguay, nenek Puerto Rico”, Luna menjelaskan silsilah keluarganya.

“sungguh perpaduan yang sungguh sempurna”, timpal saya, walau sebenarnya tidak jelas apa maksudnya. Luna lantas tersenyum, hal itu semakin membuat saya melupakan Mimin dan Neng Dedeh.

“yang pasti saya masih keturunan suku Maya…”, Luna menambahkan.

“suku Maya? Tadinya saya pikir suku Maya itu telah benar-benar punah!”, kata saya seakan tidak percaya.

“oh tidak, sebenarnya masih ada, memang kecil jumlahnya dan itupun tersebar di berbagai negara”, jawab Luna menjelaskan.

“beruntung saya bisa bertemu dengan anda”, ujar saya, dengan harapan ia juga membalas dengan berkata ‘saya juga beruntung bertemu anda’, tapi setelah ditunggu-tunggu pernyataan itu tak kunjung tiba.

“tapi ironis, dari jumlah yang sedikit itu, lebih sedikit lagi orang Maya yang mau mempertahankan tradisi nenek moyangnya”, kali ini Luna menjelaskan dengan nada suara getir.

Demi disangka orang yang perhatian kepada nasib suku Maya, saya pun menangis berlinang air mata. Sampai kalimat yang tidak pernah saya duga, keluar dari pita suara Luna.

“anda sungguh perkasa, bagi kepercayaan kami, lelaki yang menangis di angkasa dianggap sebagai titisan Dewa Matahari!”, ujar Luna sambil matanya menatap takjub ke arah saya.

“saya punya sebuah kelompok, dimana orang-orangnya merupakan orang yang sangat concern terhadap kelestarian budaya suku Maya. Akan sangat senang, jika anda bergabung bersama kelompok kami”, Luna menambahkan, kali ini  dengan penuh pengharapan.

“apa ini MLM?”, tanya saya, langsung menghentikan tangis.

“oh bukan!” jawab Luna.

“Tapi saya orang Sunda”, kata saya ragu-ragu.

“tidak apa, kelompok kami tidak dikhususkan untuk keturunan asli Maya, yang penting mereka mau membantu kelestarian tradisi suku Maya”, kata Luna seperti memaksa. Kemudian ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya, dan menyerahkan pada saya.
Ternyata itu brosur, disitu tertulis biaya pendaftaran 50 ribu, langsung dapat kaos, topi, syal, sticker, dan member card yang bisa dipakai sebagai kartu discount di beberapa outlet dan  cafĂ©. Saya langsung melipat brosur itu dan memasukan ke dalam saku baju, saya bukan tipe orang yang gemar berorganisasi.

“ayolah….. sebagai Ketua, saya akan merasa tersanjung apabila memiliki anggota seperti anda”, kata Luna, seolah-olah tahu bahwa saya tidak tertarik.

“jadi anda Ketua-nya?”, tanya saya kaget. Luna mengangguk manis.

“Saya daftar!”, sambung saya sambil secepat kilat mengeluarkan uang 50 ribu.

Luna langsung mencatat data pribadi saya pada sebuah formulir, kemudian ia menyerahkan member card dan sebuah buku panduan AD/ART yang isinya hak dan kewajiban organisasi. Sayapun membacanya sekilas.

“untuk kaos dan lain-lain, nanti menyusul”, ucap Luna seperti takut saya akan menagihnya. Sebenarnya saya tidak peduli dengan itu, bisa dekat dengan Luna saja, sudah lebih dari cukup. Tapi saya terkejut ketika di dalam member card tertulis nama saya dengan jabatan sebagai SEKJEN SUKU MAYA.

“apa ini tidak terlalu berlebihan?”, tanya saya kaget.

“tidak! Saya yakin kapasitas anda!”, jawab Luna singkat.

“lalu, apa kegiatan kelompok kita sekarang?”, tanya saya, mulai bersikap menjaga wibawa karena jabatan yang disandang.

“kebetulan, kita sedang mempersiapkan sebuah event”, kata Luna dengan sorot mata yang berbinar-binar.

“pasti event yang menarik! Apa itu?” tanya saya lagi.

“Kiamat”, jawab Luna.

Selama ini gosip tentang kiamat 2012 adalah bersumber dari kepercayaan perhitungan waktu Suku Maya. Saya bukanlah orang yang percaya pada hal seperti itu. Bagi saya, peristiwa dimana semua ciptaan Tuhan berterbangan seperti kapas itu, waktunya cukuplah hanya Tuhan yang tahu.

Tapi apa yang saya alami saat ini, sangat dilematis. Satu sisi saya tidak mempercayai ramalan itu, di sisi lain saya terlanjur terlibat dengan sebuah sekte yang meyakini bahwa kiamat akan terjadi pada 2012.

“bisa anda lihat ini”, kata Luna sambil mengeluarkan lembaran yang sepertinya terbuat dari kulit pohon dan dilipat-lipat seperti harmonika.

Hati-hati saya membuka lembaran itu, ternyata sebuah kalender suku Maya yang legendaris itu, kini ada tepat dihadapan saya. Jika pembaca ingin tahu bagaimana bentuknya, baiklah akan saya jelaskan. Itu kalender tahun 2012, terdiri dari 2 bagian, Januari sampai Juni di lembar pertama dengan gambar Diana Pungki, sedangkan Juli sampai Desember di lembar berikutnya dengan gambar Desi Ratnasari.

Mata saya langsung tertuju pada bulan Desember, tanggal 21 di bulan itu diberi warna merah. Dibawah bulan Desember ada keterangan. ’21 Desember – Hari Kiamat Internasional’.