Chapter 19 - Perburuan Gembong Teroris (TAMAT)
Laksana Pahlawan peyelamat bumi, kami berlari menembus dinginnya dinihari kota Stanley. Jika saja kalian berada disitu, pasti kalian akan menganggap kami adalah Batman dan Robin, tapi sayangnya kalian tidak sedang berada disitu.
Saya berlari di depan Poleng dengan pandangan lurus kedepan, sementara Poleng setia mengikuti, dan sesekali ia menengok ke belakang seolah dikejar waktu, yang terus mengejar kami dengan menggunakan motor bebek.
14 tikungan dan 6 tukang tambal ban telah kami lewati, sampai akhirnya kami berhenti.
“Poleng kita akan kemana?”, tanya saya dengan nafas yang terpenggal-penggal.
“wau wau”, jawab Poleng yang maksudnya “saya juga bingung mau kemana kita?”.
“Kamu hapal jalan?”, tanya saya lagi.
“wau wau”, jawab Poleng yang berarti “maaf Tuan, saya orang baru!”.
“apa yang harus kita lakukan?”, tanya saya, yang juga tidak tahu lokasi Stasiun Nuklir milik Santanakovic itu berada.
“wau wau”, kata Poleng yang artinya “lebih baik kita lapor Polisi, tidak baik mempermainkan hakim sendirian”.
“tumben Poleng, ide kamu seperti orang normal!”, kata saya surprise mendengar ide cemerlang dari Poleng.
“wau wau”, balas Poleng yang maksudnya “gini-gini, saya Penguasa Samudera Hindia!”.
Kami pun mendatangi Kantor Polisi terdekat. Disana ada seorang Polisi yang tampaknya sedang tugas piket malam, matanya merah, tidurnya terbangunkan oleh kedatangan kami.
“lapor Pak, Dunia sedang terancam!”, begitu laporan dari saya.
Tanpa menjawab Polisi itu bangkit sambil garuk-garuk, kemudian dengan berjalan malas menuju ke sebuah meja yang terdapat mesin ketik. Sebuah pelayanan masyarakat yang buruk, untungnya ini di Malvinas, bukan di negeri saya.
“Nama?”, tanya Polisi masih dengan malas-malasan, sambil dua jari telunjuknya diacungkan, siap siaga menekan mesin tik.
“Angga, Pak!”, jawab saya tegas.
“Alamat?”, tanya Polisi itu lagi sambil menguap.
“Cipadung!”, jawab saya.
Polisi itu lalu mengetik dengan sangat lambat, crek…….. crek…….. begitulah bunyi mesin tik tersebut apabila hurufnya ditekan. Kemudian Polisi itu diam beberapa saat, rupanya kebingungan mencari letak huruf ‘P’ dalam mesin ketiknya.
“kamu sembunyikan huruf ‘P’ ya?!?!”, bentak Polisi pada kami berdua.
“saya kan baru datang!”, kata saya membela diri dari tuduhan tanpa bukti tersebut.
“oh ini dia!”, kata Polisi yang sudah menemukan huruf ‘P’ di sebelah kanan huruf ‘O’. Polisi itu menekan huruf tersebut dengan semangat, pasti ia bahagia karena penemuannya. Namun tiba-tiba Polisi itu menjerit. Rupanya telunjuknya nyungseb di sela-sela huruf mesin tik. Saya langsung hendak memberikan pertolongan pertama, tapi Polisi itu menolak, demi menjaga citra Kepolisian Malvinas.
“Status?”, tanya Polisi lagi sambil membetulkan pita mesin tik yang kusut.
“ah sudahlah, ngapain nanya status, memangnya facebook?!?! Ini keadaan sudah sangat mendesak!”, kata saya menahan emosi.
“Anda ini harus mengikuti prosedur, berkas laporan pengaduan harus tetap dibuat!”, bentak Polisi sambil memukul meja, kursi, laci dan kusen.
Tiba-tiba dari salah satu ruangan, keluar seseorang yang menggunakan piyama.
“ada apa ini ribut-ribut?”, tanya seseorang yang baru keluar itu.
“Siap Dan!, ada warga yang melapor, Dan!”, kata Polisi petugas piket sambil berdiri memberi hormat kepada orang itu. Apakah orang tersebut bernama Dadan? Bukan! Maksudnya, Komandan.
Sayapun langsung menceritakan kejadian yang terjadi. Komandan Polisi itu merenung sejenak, lalu dia berkata, “Sersan, segera hubungi Pusat! Lumayan, ini kasus besar! Kalo sukses, pasti kita dapat promosi, gaji naik, kita bisa ngontrak kantor yang lebih besar dari ini!”, begitulah perintah Komandan pada bawahannya.
Kantor Pusat bertindak sangat cepat menanggapi laporan ini. Seluruh Kepolisian di dunia langsung dihubungi, diminta untuk mengirimkan para Polisi terbaiknya untuk bergabung. Tidak sampai 1 jam, Polisi dari seluruh dunia sudah tiba di Malvinas, masing-masing negara diwakili oleh 1 orang, kecuali Indonesia yang tidak mengirimkan wakilnya, karena memang tidak diundang. Sementara Negeri Cipadung diwakili oleh Hansip Jaja.
Dibentuklah tim khusus Satuan Anti Teror, karena dilatarbelakangi oleh keberagaman dan campur baur suku bangsa, maka tim khusus ini dinamakan ES TELER 77.
Dengan seragam khusus dan senjata lengkap, mereka segera menuju Stasiun Nuklir Santanakovic untuk melakukan penggerebekan. Mereka menyewa bis pariwisata untuk menuju lokasi tersebut.
Stasiun Nuklir itu lokasinya berada di sebuah desa yang jauh dari pemukiman penduduk. Di sebuah rumah yang terpencil tersebut, diduga didalamnya terdapat gembong teroris yang paling dicari, yaitu Santanakovic.
Rumah itu tampak seperti gubuk yang hampir roboh, tidak terlihat seperti stasiun senjata nuklir. Karena peristiwa ini diliput secara langsung oleh stasiun televisi di seluruh dunia, maka Produser TV pemegang hak siar langsung mengajukan saran agar dilakukan dahulu ‘Bedah Rumah’.
Acara reality show ‘Bedah Rumah’ itu pun sukses digelar, kini rumah persembunyian Santanakovic tampak lebih sedap dipandang mata serta lebih komersil. Tak lupa juga, dekorator acara tersebut memasang dekorasi rambu-rambu ‘Dilarang Masuk – Awas Ada Nuklir’ di sekeliling rumah.
Setelah melihat rambu-rambu tersebut, Kepala Satuan Anti Teror langsung mengadakan briefing, dihimbau kepada anggotanya untuk tidak gegabah dan mundur hingga radius 1 km dari tanda larangan tersebut, karena nyawa menjadi taruhan. Merekapun mulai bertindak hati-hati dalam setiap mengambil tindakan. Karena kehati-hatiannya itulah, penggerebakan ini telah memakan waktu sekitar 8 jam, mereka tidak mau maju barang selangkahpun juga.
“anda telah kami kepung…. anda telah kami kepung”, hanya usaha seperti itulah yang sanggup mereka lakukan.
Pemirsa di rumah tegang, mereka tidak mau beranjak dari depan TV-nya, yang bapak-bapak lupa ke kantor, ibu-ibu lupa memasak, yang muda lupa karaoke, yang tua lupa ke mesjid.
Sementara di studio dihadirkan seorang narasumber, dia adalah Berbatov, dulunya anggota jaringan teroris Santanakovic, namun ia mengundurkan diri karena diterima jadi PNS Kabupaten Moscow.
“seharusnya Polisi bertindak cepat! omong kosong itu nuklir, tidak ada itu!!!, jangankan nuklir, istri saja ia tak punya!”, begitulah ucapan sang Narasumber mengomentari peristiwa ini, seolah-olah tahu betul kehidupan Santanakovic.
Karena pernyataan Narasumber tersebut dianggap dapat meredakan ketegangan pemirsa, yang tentunya tidak baik untuk rating pertelevisian, maka Produser TV langsung mengganti narasumber itu dengan komentator sepakbola, itu jauh lebih provokatif dan dapat meningkatkan adrenalin pemirsa di rumah.
“apa yang terjadi bung!…. Awaaaas!! Ah rupanya salah seorang anggota Es Teler 77 mulai terkena radiasi nuklir….!!”, kata sang komentator dengan penuh semangat olahraga, mengomentari Hansip Jaja yang tertangkap kamera sedang loncat-loncat karena dikerubuti semut merah delima.
Sudah 12 jam, anggota Es Teler 77 masih tidak mau mendekati sasaran. Melihat kondisi yang tidak ada kemajuan, serta pemirsa yang mulai tampak jenuh, akhirnya Produser TV meminta kepada para anggota Es Teler 77 untuk melepaskan tembakan.
“tembaki apa saja! Kalau perlu teman sendiri, yang penting seru!”, perintah Kepala Es Teler 77 kepada anggotanya, setelah ia mendapat arahan dari Creative Director stasiun TV.
“pemirsa, disini telah terjadi baku tembak, suara-suara tembakan yang bisa anda dengar ini merupakan satu usaha dari Tim Es Teler 77 untuk melumpuhkan Santanakovic, yang juga melakukan perlawanan yang cukup sengit dengan melakukan tembakan balasan”, ujar reporter di lapangan melaporkan. Kamera sengaja disimpan agak jauh dari tempat kejadian, agar peristiwa ini terkesan eksklusif, pemirsa pun mulai kembali ke depan TV-nya masing-masing, dengan raut wajah yang tegang merona.
Waktu berjalan hingga 15 jam dihitung dari awal penggerebekan, akhirnya para anggota Es Teler 77 merasa bosan sendiri dengan skenario ini. Hansip Jaja kemudian berniat mengundurkan diri.
“Lapor Pak! Kalau terus seperti ini, saya habis waktu banyak, sementara di rumah… istri dan anak menunggu, mereka mau makan apa?”, lapor Hansip Jaja diikuti anggukan tanda setuju dari anggota lainnya pada sang atasan. Sang Kepala pun akhirnya berpikir untuk langsung menangkap Santanakovic. Namun ia sendiri pun merasa bimbang, apa benar di dalam rumah tersebut terdapat senjata nuklir?.
Akhirnya dia meminta kepada salah seorang anggotanya untuk melakukan pengintaian dengan cara menemui langsung Santanakovic. Semua menolak karena ketakutan, ada yang beralasan tidak enak badan, ada pula yang beralasan mau mengantar nenek ke dokter. Hanya Hansip Jaja yang berani mengambil resiko, diapun akhirnya dipilih sebagai Man of the Match acara ini.
Hansip Jaja melepaskan seluruh atribut kemiliterannya, pentungan hansip ia gantungkan di pohon belimbing sebelum akhirnya dia mendekati rumah Santanakovic.
“saya tidak membawa senjata”, teriak Hansip Jaja sambil mengangkat tangan dengan harapan Santanakovic tidak menembakinya. Tidak ada sahutan dari dalam rumah, meski Hansip Jaja sudah mengetuk pintu berulang kali, sampai akhirnya ia menemukan bel di dekat pagar. Bel ditekan, tak lama kemudian sesosok pria berkulit putih dengan sarung dan berkaos singlet membukakan pintu.
“mau ke siapa?”, tanya pemilik rumah ramah.
“kalau Santanakovic-nya ada?”, balas Hansip Jaja.
“iya saya sendiri”, jawab pemilik rumah yang ternyata Santanakovic.
“perkenalkan, nama saya Jaja”, ujar Hansip Jaja sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman, dibalas dengan jabatan tangan penuh kehangatan dan berazas kekeluargaan.
“silahkan masuk, maaf berantakan, maklum bujangan”, kata Santanakovic sambil membersihkan cangkang kuaci yang berserakan di kursi ruang tamu.
“ah tidak apa-apa….. tidak usah diberesin segala“, kata Hansip Jaja dengan mata mulai meneliti tiap sudut ruangan.
“sendirian saja? Ada perlu apa ya?”, kata Santanakovic sambil membuka bungkusan rokok kretek dan kemudian menawarkan kepada tamunya itu.
“itu… dengan pasukan di luar, mau melihat-lihat nuklir”, jawab Hansip Jaja sambil mengambil sebatang rokok kemudian dimasukan ke dalam sakunya, lumayan buat di rumah.
“suruh pada masuk dong, kasihan nunggu di luar”, kata Santanakovic.
“ah malu, belum pada mandi…..”, jawab Hansip Jaja.
“sebentar…. maksudnya mau lihat nuklir apa ya?”, tanya Santanakovic penasaran.
“iya…. Saya dapat kabar, apa betul bapak ini suka membuat nuklir?”, Hansip Jaja balik bertanya.
“ah nggak… saya cuma tukang service komputer…. kecil-kecilan lah daripada nganggur”, tukas Santanakovic sambil menunjuk ke sebuah meja yang diatasnya terdapat solder dan beberapa CPU yang sedang diservice.
“oh kalau gitu maaf, salah orang rupanya”, kata Hansip Jaja tampak kebingungan sendiri.
“punya Hard disk yang 80 giga, Pak?”, Hansip Jaja bertanya lagi.
“ada! kebetulan…. tapi second!”, kata Santanakovic.
“waduh, kalo pengennya sih yang baru”, timpal Hansip Jaja.
“kalo itu ga punya, tapi nanti lah kalo emang minat bisa saya cariin”, kata Santanakovic.
“wah betul ya Pak, saya perlu banget buat anak di rumah…….kalo gitu saya pamit dulu Pak, masih banyak keperluan….”, Hansip Jaja menambahkan sambil mulai berdiri dari kursi.
“mau kemana pak, buru-buru amat, kita bikin kopi dulu ya?”, tawar Santanakovic. Hansip Jaja pun duduk kembali.
“Kopinya sachet ?”, tanya Hansip Jaja.
“iya, mau kan?”, kata Santanakovic.
“boleh-boleh… tapi dibawa pulang aja ya…….biar diseduh di rumah”, sahut Hansip Jaja semangat.
Santanakovic pun memberikan 1 sachet kopi instan plus susu pada Hansip Jaja. Setelah mengucapkan terima kasih, Hansip Jaja pamit pulang dan kembali pada pasukannya.
“Lapor komandan! Sama sekali tidak ada nuklir disana!”, lapor Hansip Jaja begitu kembali dari tugas yang sangat berbahayanya itu.
“Kalau begitu, semua pasukan segera dekati sasaran!”, perintah Kepala Satuan Anti Teror Es Teler 77.
Pasukan segera melaksanakan perintah, dengan cara mengendap-endap, mereka mulai mengepung rumah Santanakovic dari radius 100 meter.
“Siapa didalam?!?!”, tanya salah seorang pasukan dengan cara berteriak.
“Saya, Santanakovic!”, terdengar jawaban dari dalam rumah.
“silahkan anda keluar! menyerahkan diri atau kami tembak”, perintah Kepala Satuan sambil mengarahkan moncong senjatanya ke arah datangnya suara.
“apa salah saya?”, tanya Santanakovic.
“anda bersalah, karena tidak memiliki nuklir!”, ucap Kepala Satuan itu lagi.
“baiklah, tapi tunggu…. saya mau mandi dulu!”, jawab Santanakovic yang memang terkenal jarang mandi.
Santanakovic masuk kamar mandi, namun malang nian nasibnya. Lantai kamar mandi begitu licin karena jarang disikat, ditambah ia memiliki penyakit panu di telapak kakinya yang cukup akut, sehingga ia terpeleset dan langsung tewas di tempat.
Tim Es Teler 77 tetap menunggu dengan posisi siaga, namun setelah 1 jam mereka tidak mendengar ada aktivitas dari dalam kamar mandi. Akhirnya Kepala Satuan mencoba mengintip lewat jendela kamar mandi. Terlihat olehnya, tubuh Santanakovic terbaring sambil memegang sikat gigi.
Kepala Satuan segera memerintahkan pasukannya untuk menembaki kamar mandi tersebut, ia berpikiran jangan-jangan itu hanya akal-akalan Santanakovic. Kamar mandi ditembaki dengan membabi buta, setelah dianggap cukup meyakinkan, mereka masuk ke dalam kamar mandi. Mayat Santanakovic dimasukklan ke dalam kantong mayat, tetapi sayangnya ketinggalan di kantor, akhirnya diputuskan untuk dimasukkan ke dalam karung beras.
Saya pun mematikan itu siaran TV.
“sepertinya ini cerita semakin ngawur dan penuh keganjilan!”, gumam saya dalam hati, sambil menghentikan mengetik cerita ini dalam komputer.
|^_^|
:))
:)]
;))
;;)
:D
;)
:p
:((
:)
:(
:X
=((
:-o
:-/
:-*
:|
8-}
~x(
:-t
b-(
x(
=))