Chapter 5 - Reuni Para Pendekar
18 jam sudah perjalanan dilalui, tapi puncak Ciremay belum juga terinjak. Sejak setengah perjalanan terakhir yang ditemui hanyalah hutan ilalang. Bersyukurlah kini, ketika kami yang telah lelah mendapati sebuah perkampungan.
Perkampungan dengan konsep minimalis, rumah-rumah tanpa atap, dindingnya dari gorden, pintunya terbuat dari kancing.
Rupanya sedang musim panen disana, jalanan tanah merah dipenuhi oleh samak-samak mengalasi padi yang mereka jemur setelah dicuci untuk kemudian nanti disetrika.
“Hey Keparat!”, tiba-tiba suara hardikan sepertinya dialamatkan kepada kami.
“wau wau”, jawab Poleng yang artinya “apa maksudnya, Kisanak? kamu menantang kami?”, itu pertanyaan diarahkan pada seorang lelaki berbadan tegap dengan baju pangsi dan ikat kepala berwarna ungu klikers.
“diam kau wanita buruk rupa, aku bicara pada laki-laki yang kau gendong!”, bentak lelaki itu lagi.
“ada apa, Kang?”, tanya saya berusaha untuk tenang.
“pinjam api!”, jawab lelaki itu dengan mata melotot.
“wau wau”, kata Poleng yang artinya “apa kau anggap kami Iblis yang berbahan dasar api?”.
“Sudahlah Poleng, jangan kau turuti perintah hawa marahmu”, saran saya begitu bijak dan kharismatik.
“oh, ini Kang”, lanjut saya sambil turun dari punggung Poleng, lantas memberi lelaki itu korek gas seharga Rp. 1500,-.
“nuhun, Kang” (terimakasih, Kang), jawab laki-laki itu sambil pergi.
“sawangsulna” (sama-sama), balas saya.
Sementara di ujung rumah-rumah yang berderet rapi tampak beberapa pendekar keluar masuk kedalam sebuah bangunan yang tidak terlalu luas, sepertinya itu kedai teh.
“Poleng, sebaiknya kita istirahat minum teh dulu”, saya mengajukan ide.
“wau wau”, jawab Poleng yang artinya “Aku mengikuti segala kehendakmu”.
Terlihat seorang lelaki tua, sepertinya pemilik kedai. Ia sibuk membuatkan hidangan kepada para pendekar yang banyak berkunjung disana.
“Paman, buatkan kami 2 cangkir teh”, pinta saya sopan begitu kami masuk ke dalam kedai yang tampak sangat tradisionil.
“Kisanak, disini tidak ada teh!”, jawab lelaki tua itu dengan mata yang tetap pada pekerjaannya.
“wau wau”, Poleng berkata pada saya sambil menunuk pada Daftar Menu yang tertempel di dinding kedai.
“Marquilla… apa itu Paman?”, Tanya saya saat membaca tulisan itu sebagai Menu Hari Ini.
“Air susu marmut yang telah melalui proses fermentasi selama 350 tahun di dalam perut bumi, kemudian ampasnya dicampur dengan belerang dan alkohol dari India”, jawab pemilik kedai.
“Apa itu memabukan?”, Tanya saya lagi.
“Tentu saja… hehehe…. Itu bisa membuat Kisanak terbang dengan seribu sayap elang… hehehe”, jawab pemilik kedai sambil tertawa, memperlihatkan giginya yang tinggal 2 ¼.
“wau wau”, Poleng bergumam yang artinya “Astaghfirullah…”
“Kalau Kicupiki sejenis apa Paman?”, tanya saya lagi menanyakan menu yang lain.
“itu Daging Babi Perawan panggang yang diternakkan di pegunungan Himalaya, dengan campuran bumpu rempah-rempah pedas ala Mexico sebelum merdeka. Makanan ini kalau sudah dihidangkan, harumnya akan tercium hingga radius 45 Km!”, jawab pemilik Kedai sepertinya bangga dengan menu yang dimilikinya.
|^_^|
:))
:)]
;))
;;)
:D
;)
:p
:((
:)
:(
:X
=((
:-o
:-/
:-*
:|
8-}
~x(
:-t
b-(
x(
=))