Chapter 17 - I Will Survive
Rasanya tenaga para prajurit Suku Maya itu bukanlah tandingan saya, walau telah berusaha berontak, tapi justru cengkraman tangan mereka semakin kuat seakan menusuk tulang belulang. Dengan kasar mereka menyeret saya dan Poleng ke dalam kamar mandi. “wau wau”, teriak Poleng sambil meronta-ronta, yang artinya “saya sudah mandi…. saya sudah mandi!!”. Tapi prajurit itu tetap memasukkan kami ke dalam ruangan yang berukuran 2 x 2 = 4 itu.
Seorang prajurit menyumpal mulut Poleng dengan sikat wc, agar Poleng berhenti menjerit-jerit. Sementara seorang prajurit lainnya langsung menekan saklar yang saya kira untuk lampu, ternyata saklar itu untuk membuat surut air di lubang kloset. Dari lubang kloset yang sudah tanpa air itulah, terlihat tangga yang menurun menuju ruangan bawah tanah.
Sungguh tidak diduga, ruangan bawah tanah itu sangat luas, seperti sebuah reruntuhan kuil Suku Maya. Tampak diujung sana sebuah undakan anak tangga yang diatasnya bertengger sebuah singgasana, itu singgasana milik Luna. Tepat di depan singgasana, terdapat sebuah tanah lapang berbentuk lingkaran seperti panggung yang terbuat dari batu. Sementara di tengah-tengah lapangan itu teronggok sebuah meja persembahan yang terbuat dari daun pisang.
Seorang lelaki dengan rambut mohawk dan berpakaian suku indian Maya, tampak mendatangi kami yang masih diseret-seret oleh prajurit yang jauh dari kata kelembutan.
“seluruh sel full booked!! ini kan weekend, harusnya anda reservasi dulu dari hari rabu!”, kata resepsionis ruang tahanan yang berambut mohawk pada salah seorang prajurit yang menggiring kami.
“ini perintah Ibu Luna, siapkan 2 ruang tahanan yang paling menyengsarakan!”, jawab prajurit dengan suara lantang.
Mendengar kata ‘Ibu Luna’, resepsionis itu langsung mengucapkan maaf dan berlari menyiapkan ruangan sel untuk kami. Ruangan sel itu view-nya tepat menghadap ke lapangan persembahan.
Kami dijebloskan ke dalam ruangan yang berbeda. Sungguh saya merasa kesepian, tidak terbiasa terpisah jauh dengan Poleng. Sementara kini, ruangan kami terpisahkan oleh jemuran handuk yang menggantung.
“wau wau”, ujar Poleng dengan suara lemah yang artinya “Tuan, anda telah menipu saya”.
“sungguh Poleng, saya tidak tahu apa-apa! Saya pun merasa terjebak…”, kata saya, lewat komunikasi antar ruangan demi menjelaskan dari segala prasangka Poleng.
“wau wau”, kata Poleng lagi, dengan tangisnya yang mulai terdengar, maksud ucapannya adalah ,“maksud saya bukan peristiwa ini , tapi Tuan telah mengarang cerita palsu mengenai asal-usul orangtua saya……. dulu Tuan pernah bercerita, bahwa ibu saya adalah Gurame sedangkan ayah saya adalah Onta, dan karena perbedaan inilah mereka tidak disetujui oleh orangtuanya….. sehingga mereka kawin lari, marathon 20 km memperebutkan hadiah trofi Walikota…… namun ketika saya lahir, ayah saya di-PHK sehingga hidup mereka terkatung-katung…. Karena tidak kuat menahan beban hidup, mereka menitipkan saya pada Ko Pang-Pang pemilik toko ikan hias ….. betapa bodohnya saya mempercayai cerita itu…..”.
“maafkan saya Poleng….. tadinya saya pikir itu cerita yang bagus”, kata saya menyesali atas apa yang telah saya karang selama ini.
“wau wau”, balas Poleng yang saya tidak tahu artinya, karena suara Poleng begitu lemah. Yang pasti isak tangis Poleng semakin membuat hati ini begitu tersiksa, apalagi jam 12 nanti, mungkin kami akan berpisah untuk selamanya.
Poleng masih terisak disela-sela begitu lahapnya ia memakan anggur dan jeruk yang disediakan bagi para tahanan.
“Poleng, kita harus tawakal…… kuatkan iman dalam menghadapi kematian yang sudah didepan mata”, kata saya sambil menangis, juga sambil memijit remote untuk menonton DVD.
Poleng tidak membalas, ia terus menangis. Spring bed-nya, sengaja ia geser hingga menghadap tembok, sepertinya ia sangat marah pada saya.
Waktu menuju jam 12 terasa begitu cepat, hingga akhirnya saya dengar suara sirine berbunyi, yang menandai upacara persembahan Poleng bagi Dewa Hurukan segera dimulai.
Beberapa prajurit yang membawa tombak masuk ke kamar tahanan Poleng, dan menyeretnya dengan paksa setelah sebelumnya Poleng diludahi dan dikencingi beramai-ramai. Sungguh biadab! mereka memperlakukan Poleng laksana perlakuan PKI terhadap para Jenderal.
“wau wau”, teriak Poleng yang artinya “Tolong saya Tuan……”.
Tetapi saya tidak bisa berbuat banyak melihat Poleng meratap mengiba, yang bisa saya lakukan hanya berdo’a, semoga Poleng Khusnul Khotimah.
Poleng ditidurkan di atas meja persembahan yang terbuat dari daun pisang, kemudian dia diikat dengan sangat kuat menggunakan tali rafia, hingga Poleng tidak bisa bergerak. Dari kejauhan, saya lihat Poleng tampak seperti lontong.
Sementara Ki Joko Bolon terlihat sibuk menguji mic, “tes… tes… satu…satu…. Satu dua tiga”, begitu katanya, maklum dia panitia, juga sebagai pemimpin upacara.
Akhirnya terdengar suara MC mempersilahkan Ketua Suku Maya untuk menduduki singgasana. Kini saya sama sekali tidak memiliki rasa tertarik pada seorang Luna, bagi saya kini dia lebih tampak seperti iblis. Maksud saya, iblis yang cantik.
Sebuah gong lalu ia pukul, hingga puluhan orang yang mengenakan jubah merah panjang yang menutupi seluruh kepala dan tubuh mereka, tampak berjalan beriringan memasuki lapangan upacara. Mereka kemudian berbaris rapi, tidak lupa lencang kanan dan lencang depan. Mereka adalah para anggota elite kelompok Suku Maya.
Tapi ada satu orang dari mereka yang berdiri diluar barisan, ia justru berdiri menghadap ruangan sel yang saya huni. Rupanya ia tidak boleh ikut upacara, karena lupa tidak membawa topi dan dasi.
Saya memperhatikan orang itu, hanya matanya yang terlihat, dan saya ingat pemilik mata itu! Ya, dia adalah Mimin Mintarsih binti Omo Asikin, kekasih yang selama ini saya cari-cari.
Terima kasih Tuhan, Kau telah mempertemukan kami di tempat yang tidak indah ini.
Pasti kealpa-an Mimin tidak membawa topi hanyalah sebagai dalih untuk menyelamatkan saya. Benar apa yang saya duga, tampak Mimin mencoba mengambil sesuatu dari dalam jubahnya, rupanya itu kertas yang kemudian ia remas-remas dan melemparkannya ke dalam ruangan sel saya.
Dengan penuh pengharapan, saya memburu kertas itu, lalu membukanya. Disitu tertulis :
“Maaf A, kayanya kita beda prinsip, Aa terlalu baik…. mulai sekarang kita putus..”.
Pupus sudah semua harapan pada Mimin, sayapun mendekatinya, sambil memegang terali besi…. saya pun berkata, “you’ll see me with somebody new, I’m not that stupid, little person still in love with you, and so you thought you’d just drop by, and you expect me to be free, but now I’m saving all my loving for someone who’s loving me!!!”.
Sesaat setelah saya mengucapkan kalimat itu terdengar lantunan piano ditimpali oleh suara biola yang menyayat, mengiringi sebuah lagu I Will Survive yang temponya sengaja dibuat lambat.
|^_^|
:))
:)]
;))
;;)
:D
;)
:p
:((
:)
:(
:X
=((
:-o
:-/
:-*
:|
8-}
~x(
:-t
b-(
x(
=))