gravatar

Chapter 16 - Pembantaian Penguasa Air


Seharusnya pagi ini terasa indah, andai saja hati ini tidak gelisah. Semilir angin Samudra Atlantik tidak serta merta mendinginkan kepala ini yang terasa panas. Bagaimana tidak panas, semalaman tidur sambil berdiri, sambil dibungkus jubah tebal yang membuat mandi keringat.

Saya berpikir begitu enaknya jadi orang lain, bisa sibuk dengan urusan pribadinya. Tapi saya? Harus memikirkan nuklir, harus menyelamatkan dunia. Namun mungkin Tuhan telah menggariskan takdir saya sebagai pahlawan penyelamat bumi. Sempat terfikir untuk segera menyiapkan design baju ala superhero, tapi yang pasti lebih sopan, setidaknya dengan kolor di dalam. Tapi sayang, saya tidak punya kenalan tukang jahit.


“wau wau”, kata Poleng yang tiba-tiba mengejutkan lamunan saya, saat berada di teras belakang rumah. Maksud Poleng tadi adalah “maafkan saya Tuan”.

“minta maaf untuk apa Poleng?”, tanya saya tidak mengerti.

“wau wau”, kata Poleng lagi, yang berarti “saya lihat Tuan begitu murung, maaf jika saya telah merebut Luna dari Tuan”.

“ah Poleng, awalnya memang jujur saya menyukai Luna tapi semakin kesini dia terlihat semakin aneh… rasanya dia bukanlah wanita yang saya harapkan selama ini, apalagi dengan cara tidurnya yang seperti itu… lagian saya sudah punya Mimin dan Neng Dedeh”, saya menjelaskan.

“wau wau”, kata Poleng, yang artinya “kalau begitu saya pun mundur, kurang seru jika tak memiliki pesaing”.

“Ayo Poleng kita masuk, sarapan dulu”, kata saya mengakhiri percakapan tentang Luna.

“kalian lapar? Sayangnya, tidak ada makanan yang bisa dimakan, perempuan Maya memang pantang untuk memasak”, kata Luna yang tiba-tiba sudah berada di dekat kami.

Poleng memandang ke arah saya, wajahnya terlihat begitu lemah, biasanya jam segini dia sudah makan 7 kali.

Ketika kondisi kami yang sedang serba sulit ini, tiba-tiba terdengar suara dentingan keras berulang kali yang cukup memekakan telinga, arahnya dari depan rumah, suara apakah itu? Apakah itu tanda peringatan akan peluncuran senjata Nuklir? Oh ternyata itu tukang bubur. Beruntunglah, Poleng segera menyambutnya dengan suka cita.

Sambil pedagang itu membuatkan bubur, saya ajak ia berbincang. Namanya Mang Ikin yang ternyata berasal dari Cianjur. Bahagia rasanya bertemu dengan saudara satu suku di perantauan. Tapi miris rasanya, orang Sunda jauh-jauh merantau hanya menjadi tukang bubur. Namun saya segera berubah pikiran, karena pasti tukang bubur di Malvinas penghasilannya jauh lebih tinggi dibanding dengan tukang bubur di Indonesia.

“ah, gini aja Cep, nombok terus…..”, kata Mang Ikin membalas ungkapan hati saya, padahal sumpah tadi saya hanya berkata didalam hati. Sungguh menggagumkan, seolah langsung terjalin chemistry antara saya dan tukang bubur.

“masa nombok? Rezeki harus disyukuri, Mang…. biar sedikit”, kata saya mengingatkan.

“sumpah Cep, sekali berangkat kesini, ban diganti 43 kali, sendal aja putus sampai 100 kali, ya.. keuntungan hasil dagang habis buat ganti itu semua”, kata Mang Ikin dengan nada memelas.

“memangnya Mang Ikin dari mana?”, tanya saya lagi.

“iya dari Cianjur!”, jawab Mang Ikin kembali meyakinkan sambil memberi kerupuk pada mangkuk bubur.

“dari Cianjur ke Malvinas?”, tanya saya tak percaya.

“iya…, pokoknya beres shalat subuh langsung berangkat”, kata Mang Ikin menjelaskan perihal etos kerjanya.

“kenapa kalau terus nombok tetep dijalanin?”, tanya saya tak habis pikir.

“namanya juga hobi!”, jawab Mang Ikin datar.

“Mang Ikin, yang sabar ya……biar aja sekarang ga dapet untung, tapi lihat nanti 100 taun lagi, nama Mang Ikin pasti tercatat dalam buku sejarah, Mang Ikin Pedagang Bubur Keliling Dunia… saya yakin mengalahkan popularitas Pedagang Dari Gujarat”, kata saya mencoba menghibur.

“makasih, Cep… mohon do’anya saja”, kata Mang Ikin dengan mata berkaca, kacanya kaca mata, sambil menyerahkan mangkok bubur pada saya. Sayapun merangkul haru pada Mang Ikin, begitu juga Poleng sambil berkata “wau wau” yang artinya “Mang tambah lagi, kacangnya dibanyakin”.

Selepas breakfast, saya pun langsung bertanya pada Luna perihal rencana kiamat dari sudut pandang supranatural yang kemarin ia janji akan ceritakan. Luna belum mau menjelaskan, katanya sebentar lagi akan datang Kepala Bagian Supranatural Suku Maya, dia yang lebih faham mengenai hal itu.

Setelah ditunggu beberapa jam, tibalah orang yang tadi Luna sebutkan. Ia datang mengendarai sebuah awan. Sesosok lelaki dengan pakaian serba hitam, rambutnya panjang, berkumis dan berjanggut tipis. Lelaki itu bernama Ki Joko Bolon.

Ia masuk tanpa mengucapkan salam, matanya langsung menatap tajam ke arah saya, sepertinya ia tidak suka dengan kehadiran kami disini. Wajar saja jika ia tidak suka pada kami, terutama saya, maklum ia bisa dibilang senior yang termasuk pendiri kelompok ini. Tapi jabatan organisasinya langsung tersalip oleh orang baru seperti saya.

Dengan matanya yang jalang ia mengisyaratkan pada Luna untuk berbicara tanpa kami. Luna pun mengikuti Ki Joko Bolon ke belakang rumah. Tampaknya perbincangan yang sangat serius. Sambil menunggu mereka berbincang, saya ajak Poleng bermain.

“wau wau”, kata Poleng yang artinya “kita main petak umpet saja, Tuan”.

“Poleng, itu permainan yang sangat brilian!”, pekik saya.

Di saat kami sedang serius bermain, tiba-tiba Ki Joko Bolon sudah berdiri tepat di hadapan saya yang sedang sembunyi di bawah ranjang.

“Lihat Luna, sudah saya bilang, bahwa anda salah memilih Sekjen!!”, kata Ki Joko Bolon dengan suara keras, sambil jarinya yang penuh batu ali menunjuk tepat di depan hidung saya. Itu membuat Poleng mengetahui tempat persembunyian saya.

Luna hanya diam, ia tidak bisa membela, ketika dengan mata kepalanya, ia melihat saya dan Poleng sedang bermain petak umpet.

“Kelakuannya saja masih seperti anak sekolah!”, kata Ki Joko Bolon sambil melotot.

“apa anda bilang?!?!”, saya bertanya sambil bangkit berdiri.

“anak sekolah!”, tukas Ki Joko Bolon dengan penekanan suara.

Sebenarnya saya orang yang tidak pernah bisa marah, tetapi setelah mendengar kata ‘anak sekolah’, darah ini langsung bergolak. Saya langsung berdiri di atas batu, batu itu letaknya di atas kulkas.

Seraya membentangkan tangan, saya berkata :
“Demi tukang bubur yang baru lewat, dengarkanlah wahai orang sesat!!! sesungguhnya ayahku adalah manusia, sedangkan sekolah itu adalah bangunan….”
Ki Joko Bolon dan Luna saling berpandangan, bingung dengan maksud ucapan saya. Hanya Poleng yang tepuk tangan, entahlah… apa dia memang mengerti, atau hanya sekedar ingin memeriahkan suasana. Merasa disemangati, saya pun melanjutkan seruannya.

“Janganlah kalian berkata seperti itu!! Sesungguhnya sekolah itu tidaklah menikah, maka tak pantaslah kau sebut saya sebagai anaknya!!”.

Sesaat saya mengakhiri orasi yang sangat mengguncang jiwa itu, tiba-tiba tubuh Ki Joko Bolon tersungkur sambil menciumi kaki kulkas.

“Atas keluhuran ilmu-mu, perkenankanlah hamba menjadi muridmu”, kata Ki Joko Bolon sambil terisak mengiba.

Sayapun langsung melompat dari batu di atas kulkas, sambil berkata :
“kan kuangkat kau menjadi muridku, tapi tunggulah sampai bulan Juni, itu waktunya penerimaan murid baru”.

“sekarang cepat ceritakan mengenai rencana kiamat itu!”, kata saya menambahkan.

Ki Joko Bolon segera mengeluarkan 3 gulungan kertas dari dalam bajunya. Kertas itu bergambar gugusan rasi bintang Orion, letak posisi pyramida Maya, dan letak posisi Pyramida di Mesir. Poleng spontan menampar saya, maksudnya mengingatkan, ketika ia melihat ada unsur pyramida Mesir di salah satu kertas itu.

“apa maksudnya ini?”, tanya saya yang kini semakin yakin bahwa ada hubungan terkait antara Mimin dengan kelompok ini.

“lihatlah letak ketiga Pyramida Mesir dan Pyramida Maya ini…….. mereka memiliki letak dan posisi yang persis sama dengan gugusan formasi rasi bintang Orion….. ini adalah cara orang-orang terdahulu untuk membuat keseimbangan antara bumi dengan alam semesta”, kata Ki Joko Bolon mulai menerangkan.

“jadi apa hubungannya dengan kiamat?”, tanya saya lagi.

“ini menurut penerawangan supranatural, jika salah satu saja dari pyramida-pyramida ini hilang, maka alam semesta menjadi tidak seimbang….. kiamat akan segera terjadi!”, jawab Ki Joko Bolon dengan yakin.

“jadi hilangnya satu pyramida Mesir itu adalah pekerjaan kelompok ini?”, tanya saya yang semakin menemukan titik terang.

“ya….”, jawab Ki Joko Bolon.

“Mimin adalah salah satu pengikut kami yang setia…..”, Luna tiba-tiba menimpali seakan tahu apa yang ada di pikiran saya.

“jadi sebenarnya anda sudah mengenal saya, jauh sebelum pertemuan kita di pesawat?”, tanya saya yang merasa terjebak dalam konspirasi Suku Maya. Mendengar pertanyaan saya, Luna  langsung mengangguk sambil tersenyum.

“saya tidak mengerti, tapi sudahlah….. sekarang mana buktinya kiamat itu? Bukankah pyramid itu telah kalian curi?”, tanya saya dengan nada meninggi, Poleng pun wajahnya mulai memerah, itu tandanya ngantuk, terlalu kenyang makan bubur.

“ya, sekarang mulai banyak terjadi gempa, tapi memang belum kiamat….. karena perlu diingat, sebenarnya bumi kita sebagian besar adalah air, justru dari situlah kuncinya”, kilah Ki Joko Bolon.

“ah, anda terlalu berbelit-belit!”, kata saya dengan nada yang semakin tinggi.

“tenang dulu anak muda, justru unsur air inilah yang menjadikan adanya kehidupan di bumi, hilangnya pyramida itu hanyalah sekedar untuk mengguncangkan daratan, tapi jika kita telah menguasai air, maka kiamat pasti akan terjadi!”, balas Ki Joko Bolon tidak mau kalah.

“bagaimana cara menguasai air itu?”, tanya saya penasaran, sambil menghisap rokok.

“kita binasakan terlebih dahulu para dewa-dewi penguasa air!”, kata Ki Joko Bolon sambil menghisap jempol kakinya.

“siapa saja mereka?”, tanya saya lagi.

“Poseidon di Samudra Atlantik, Neptunus di Laut Merah, Enki di Mesopotamia, Dewi Isis di Sungai Nil, Dewa Ahto di Segitiga Bermuda, Long Wang di Laut Cina Selatan, Chalchilitcue di Teotohuacan, Deni Manusia Ikan di Cikapundung, dan Nyi Roro Kidul di Samudra Hindia…… mereka telah kami bunuh dan dijadikan persembahan untuk Dewa Badai Suku Maya…. Dewa Hurukan”, kata Ki Joko Bolon.

“tadi anda bilang, mereka sudah dibunuh semua?”, saya bertanya.

“ya benar!”, jawab Ki Joko Bolon disertai anggukan anggun dari Luna.

“tapi kiamat belum terjadi!”, kata saya sambil tertawa menyaksikan kebodohan mereka.

“itu akibat ulah Nyi Roro Kidul…. dia yang paling ngeyel diantara dewa-dewi penguasa laut”, tukas Ki Joko Bolon.

“jadi anda belum berhasil membunuh dia?”, tanya saya lagi.

“bukan… bukan begitu maksud saya, dia kini sudah berhasil kami mutilasi, tapi sesaat sebelum ia meregang nyawa, ia serahkan tampuk kekuasaannya…. Jadi kini Samudra Hindia memiliki penguasa baru”, kata Ki Joko Bolon.

“siapa dia?”, tanya saya.

“penguasa baru itu adalah anaknya Nyi Roro Kidul”, kali ini Luna yang menjawab.

“siapa namanya?, setahu saya dia tidak memiliki anak!”, tanya saya.

Ki Joko Bolon memandang ke arah Luna, seolah meminta persetujuan untuk menjawab. Luna mengangguk, seiring anggukan Luna, tiba-tiba lilin-lilin merah penerang ruangan langsung berubah wujud menjadi pria-pria berbadan tegap seperti algojo, lengkap dengan kapak di tangan. Suasana menjadi remang-remang tegang.

“anak Nyi Roro Kidul itu adalah….. DIA!!!!”, pekik Ki Joko Bolon sambil menunjuk ke arah Poleng yang sedang sekuat tenaga menahan kantuk.

“Prajurit, tangkap dia!!! untuk kita jadikan persembahan pada Dewa Hurukan jam 12 malam nanti!!!!”, kata Luna yang tiba-tiba terlihat beringas.

“Tangkap juga orang ini, masukkan ke dalam sel yang terpisah!!”, timpal Ki Joko Bolon memerintahkan prajuritnya untuk menangkap saya, yang masih terpaku menyaksikan kejadian yang mengejutkan ini.