gravatar

Chapter 18 - Malaikat Maut


Suasana mellow berakhir ketika Ki Joko Bolon yang sudah berdiri di atas mimbar mulai membacakan sebuah mantra dengan bahasa asli suku Maya.

tongboroborosia…… tongboroborosia……..ainggelieurrrrrrrr……. macacaritaieu”, katanya dengan penuh penghayatan. Mantra itu dibacakan berulang kali, kemudian diikuti oleh peserta upacara yang lain, sehingga menimbulkan kesan mistis yang begitu mendalam. Sampai-sampai Poleng dengan semangat ikut larut membacakan mantra itu.

“Anda diam saja!”, perintah Ki Joko Bolon kepada Poleng.

“wau wau”, jawab Poleng yang artinya “maaf, saya terbawa suasana”.


Selepas mantra dibacakan, tampak seorang algojo mendekati meja persembahan. Ia menggenggam senjata semacam belati, dimana pada pegangan belati itu dihiasi oleh batu hijau yang berkilau, sepertinya itu batu jamrud, saat vokalisnya masih Krisyanto.

Belati itu digenggam dengan kedua tangannya yang diangkat tinggi-tinggi, sebelum akhirnya belati itu melesat tepat menuju dada Poleng. Tetapi dalam hitungan detik, tepatnya pada detik ke 0,5 sebelum belati itu menikam jantung Poleng, saya berteriak dari dalam sel.

“Interupsi pimpinan!!!”, teriak saya dengan suara lantang menggelegar.

Algojo segera mengurungkan tikamannya, seluruh peserta upacara termasuk Luna langsung menoleh ke arah saya.

“Upacara Persembahan ini cacat hukum!!!”, kata saya lagi, masih dengan suara lantang mundur.

“apa maksud anda, saudara terdakwa!”, itu kata yang diucapkan Ki Joko Bolon dengan penuh emosi jiwa.

“lihatlah Pasal 28 ayat 3 AD/ART mengenai Peraturan Tata Laksana Upacara Persembahan”, kata saya sambil mengacung-acungkan buku pedoman kepada mereka. Buku pedoman itu saya dapatkan dari Luna saat pendaftaran anggota di pesawat, beruntung saya tetap membawanya dan pernah membacanya walau sekilas.

Salah seorang peserta upacara yang hapal pasal-pasal kemudian membacakan ayat yang saya maksud, “Tiap-tiap  upacara persembahan berhak dan wajib dipimpin oleh seorang pemimpin upacara, dan pemimpin upacara sekurang-kurangnya memiliki jabatan sebagai Sekretaris Jenderal”. Setelah pasal itu dibacakan mereka saling berpandangan.

“mengerti maksud saya? Saat ini sayalah yang masih tercatat sebagai Sekjen!”, ucap saya serasa berada di atas angin.

Luna langsung berdiri dan memerintahkan seorang prajurit untuk membebaskan saya dari ruang tahanan. Ki Joko Bolon menatap ke arah Luna, sepertinya ia tidak setuju atas kebijakan yang telah Luna ambil.

“saudara-saudara, bangsa Maya adalah bangsa yang menghormati demokrasi…. Dan demi menjaga amanah konstitusi, maka pimpinan upacara persembahan ini memang selayaknya diemban oleh seorang Sekretaris Jenderal….. Merdeka!!”, itu ucapan Luna yang saat itu mengenakan baju kebesaran berwarna merah, dari moncong bibirnya tampak busa-busa putih, sambil berdiri tak lupa ia mengepalkan tangan ke udara.

Ki  Joko Bolon diikuti oleh beberapa fungsionaris lainnya yang loyal, kemudian melakukan aksi walk out. Namun setelah dilakukan negosiasi yang cukup alot, akhirnya mereka bersedia untuk kembali ke lapangan upacara, dengan catatan mereka tidak mau menandatangani Berita Acara.

“saya serahkan posisi pimpinan upacara ini, selamat menikmati pemandangan yang indah ini……teman anda terbunuh tepat di depan mata anda”, kata Ki Joko Bolon sinis, sambil menyalami tangan saya.

Luna mengisyaratkan bahwa upacara dilanjutkan kembali, kali ini saya yang memimpin. Saya kebingungan, benar apa yang dikatakan Ki Joko Bolon, dengan posisi sebagai pemimpin upacara, justru sayalah yang seolah-olah memerintahkan algojo untuk membunuh teman sendiri. Tapi apa mau dikata, sebagai seorang Sekjen yang bertanggung jawab, sayapun harus menjalankan tugas, membacakan mantra, seperti pemimpin upacara sebelumnya.

“Maafkan saya Poleng….”, kata saya dalam hati sebelum membacakan mantra itu.

Mantra selesai diucapkan, giliran algojo kembali beraksi. Tapi lagi-lagi disaat hitungan 0,5 detik sebelum ujung belati itu mengoyakan jantung Poleng, suara dentuman keras terdengar ke seantero ruangan upacara.

Semua yang hadir termasuk algojo menoleh ke arah datangnya suara dentuman itu. Ternyata itu suara timbul dari seorang fotografer  amatir yang terjatuh di panggung upacara. Rupanya ia tidak ingin kehilangan moment bersejarah ini, saking semangatnya ia tersandung anak tangga, dan tersungkur di tengah panggung yang penuh khidmat. Masih dalam keadaan terjatuh, ia tetap mencoba untuk tersenyum, meski dalam hatinya pastilah malu, setidaknya itu merupakan aib bagi keluarganya. Semua orang tertawa, termasuk Poleng, tapi saya tidak, maklum saya Sekjen.

Algojo meminta upacara diulang dari awal, karena ia sudah kehilangan konsentrasi.

Terima kasih Ya Allah, kau telah mengirimkan Fotografer yang bodoh itu pada kami, itu membuat nyawa Poleng untuk sementara waktu terselamatkan. Adakah Tuhan memiliki rencana lain? Saya tidak tahu, yang pasti kini saya harus memulai kembali pembacaan mantra.

Sama seperti urutan upacara sebelumnya, kali ini Algojo yang sudah tidak sabar untuk menikamkan belatinya. Ia mulai bersiap-siap. Saya beranggapan mungkin inilah akhir hidup Poleng, tidak terpikir bakal ada pertolongan lain, saya pun tidak yakin fotografer itu akan jatuh lagi.

“wau wau”, seru Poleng yang artinya “Selamat tinggal Tuan, saya sudah melihat malaikat maut berlari hendak menjemput saya……. La ilaha illallah”. Pandangan Poleng mengarah pasrah ke arah kanan atas.

Algojo berteriak lantang sambil menghujamkan belati ke arah Poleng, seolah-olah mengartikan bahwa kali ini ia tidak ingin gagal lagi.

Tetapi tiba-tiba, sesosok yang berpakaian serba putih lari secepat kilat menuruni anak tangga menuju lapangan upacara sambil berkata, “maaf ya shohib!!! Ana sedikit terlambat!”.

Suara yang saya kenal! Ya, Dialah Mas Slamet! yang mungkin Poleng pikir sebagai malaikat maut. Kali ini ia berlari dengan melakukan manuver berbelok tajam menuju singgasana Luna. Semua yang hadir tercengang melihat aksi spektakuler itu. Para prajurit berusaha menyergap Mas Slamet, namun dengan gerakan salto diselingi beberapa hit and run, ia berhasil melewati hadangan demi hadangan. Sampai akhirnya ia melompat dan berhasil menyergap Luna.
Semua terpaku, memandang tegang ke arah singgasana. Sudah 15 menit Mas Slamet menyergap Luna. Tapi tidak ada tanda-tanda pergerakan yang berarti dari Mas Slamet. Apakah niat jihadnya luntur ketika berada dalam pelukan Luna?  Untungnya tidak, Mas Slamet lantas melepaskan dan mendorong tubuh Luna.

astaghfirullah, ana benar-benar khilaf!”, ucap Mas Slamet, kemudian ia bertakbir sambil menekan tombol merah pada rompinya. “Allahu akbar!”

Ledakan yang sangat dahsyat, itu tergolong kedalam high explosive!!! Asap tebal menyelubungi ruangan bawah tanah. Tubuh Luna dan Mas Slamet hancur berkeping, begitu pula dengan beberapa prajurit yang berada di sekitarnya, mereka tewas seketika.

Untungnya saya selamat, karena sebelum bom meledak saya berlindung di balik Poleng. Alhamdulillah Poleng selamat, karena ia berlindung di balik Algojo, syukurnya Algojo selamat, ia berlindung di balik Ki Joko Bolon, tak dipercaya ternyata Ki Joko Bolon masih hidup, karena ia berlindung di balik Mimin. Bagaimana dengan Mimin? Ia pun selamat, karena berlindung di balik lemari. Apa lemarinya hancur? Tidak! Karena lemarinya berada di balik awan, masih panjang sebenarnya urutan perlindungan diri ini. Tapi tidak akan saya ceritakan urutan selanjutnya, karena hanya akan membuat kisah ini berakhir di chapter 215.
Ketika keadaan sedikit terkendali. Saya langsung mendeklarasikan diri sebagai Pelaksana Tugas Kepala Suku Maya atau dalam kartu nama cukup tertulis Plt. Kepala Suku Maya.
Saya ambil kebijakan untuk membatalkan upacara persembahan, diperintahkan juga kepada para prajurit untuk segera mengevakuasi para korban dan memberi penghormatan terakhir untuk Mas Slamet. Apakah Mas Slamet tergolong sebagai syuhada? Hanya Allah yang tahu.

Tidak cukup sampai disitu, saya langsung beri pengampunan kepada seluruh tahanan yang selama ini dianggap bertentangan dengan garis-garis kebijakan kelompok Suku Maya. Begitu pula dengan Ki Joko Bolon yang berjanji untuk meninggalkan pemikiran sesatnya dan kembali menjadi pedagang pulsa. Di tengah suasana yang masih hiruk pikuk, tiba-tiba Mimin datang sambil mencium tangan saya.

“maafin Mimin A….”, kata Mimin dengan suara parau.

“saya sudah maafkan kamu sejak tadi”, jawab saya singkat, kemudian segera melangkah pergi meninggalkannya. Masih ada satu lagi urusan yang lebih penting, daripada mikirin Mimin. Program Nuklir Baso Malvinas harus segera dicegah peredarannya!