gravatar

Chapter 9 - Kejujuran Di Ruang Sidang


Adalah fitnah yang ditimbulkan oleh Kapten Hook yang membuat peserta lain seolah-olah membenci saya. Ia bilang bahwa sayembara ini penuh kecurangan, pemenang sebenarnya telah dipersiapkan, dan itu adalah saya.

“masa adzan fals saja bisa lolos?”, begitulah hasutan dari Kapten Hook kepada pendekar lain yang berkumpul, ketika dia tidak mendapati namanya di antara 10 orang yang lolos ke babak 3.

Fitnah yang awalnya hanya memojokan mengenai lolosnya saya ke babak Test Pengujian, rupanya semakin melebar pada topik lain, ada yang mengatakan bahwa saya adalah keturunan Yahudi yang belum disunat, ada juga yang mengatakan bahwa sayembara ini mendapatkan kucuran dana dari Bank Century. Yang lebih tidak masuk akal adalah ketika gosip berembus kencang bahwa sebenarnya saya adalah Ariel Peterpan!.


Untuk meredakan isu yang berkembang tanpa daun ini, akhirnya Neng Dedeh  memberikan klarifikasi secara resmi di atas panggung.

“lolosnya dia ke babak selanjutnya, sama sekali bukan karena adzan… dia yang telah mengingatkan kita untuk shalat-lah yang membuat saya yakin untuk memberinya wild card…. dia memang sangat layak maju ke babak pengujian….. adapun mengenai adzan yang dikumandangkannya itu, biarlah Allah yang menilai, apakah dilakukan dengan ikhlas atau tidak…”, begitulah pernyatan yang diberikan Neng Dedeh  dihadapan khalayak ramai. Saya yang diminta oleh Panitia Pelaksana untuk tampil juga di atas panggung hanya manggut-manggut tanda setuju dengan apa yang dikatakan Neng Dedeh .

“sampai detik ini, saya belum menentukan siapa pemenangnya… masih ada 2 babak lagi… dan semua yang lolos masih memiliki peluang yang sama”, lanjut Neng Dedeh  dengan diplomatis. Neng Dedeh  yang dikenal sebagai gadis jujur dan berahlak baik, rupanya berhasil menggiring opini publik kembali ke jalur yang benar. Semua peserta termasuk penonton sepakat untuk tidak mempersoalkan hal ini lagi, dan semua masalah dianggap selesai.

Babak ketiga yang merupakan tes pengujian sudah dimulai, kali ini nomor urut peserta dilakukan secara diundi di hadapan Notaris yang langsung didatangkan dari kota Jayapura. Kebetulan lagi-lagi saya mendapatkan nomor urut terakhir. Beruntung sekali, saya jadi bisa tahu kira-kira pertanyaan apa yang Neng Dedeh dan orangtuanya akan ajukan.

Ki Linglung dengan setelan baju putih-putih berpeci hitam tampak seperti orang shaleh ketika memasuki ruang sidang. Abah Neng Dedeh kemudian menyuruhnya untuk membacakan surah Al-Anbiya ayat 1 sampai terakhir. Dengan tenang Ki Linglung langsung membuka Al Qur’an, tapi sudah bermenit-menit dia masih saja asyik membolak-balik halaman dari kitab suci itu.

“Kenapa Kisanak? Ada masalah?”, tanya Abah Neng Dedeh saat melihat Ki Linglung belum juga membacakan surah yang diminta.

“maaf, yang mana ya?”, Ki Linglung balik bertanya. Akhirnya Ambu Neng Dedeh yang dari tadi terlihat geregetan, kemudian membantu mencarikan surah tersebut. Setelah halaman yang dimaksud telah terbuka, Ki Linglung pun tersenyum.

“Alif-Alifan saja ya Bah?”, masih dengan senyum yang mengembang, kali ini Ki Linglung meminta Abah Neng Dedeh untuk menurunkan tingkat kesulitan. Rupanya Ki Linglung belum bisa baca tulisan Arab.

Masya Allah!!! ya sudah terserah kamu saja!”, kata Abah Neng Dedeh, yang sepertinya sudah habis kesabaran. Ambu pun langsung menyodorkan Buku Iqro Jilid 1.

Alif…!!!”, kata Ki Linglung dengan suara mantap dan bangga, lalu ia pun kembali terdiam beberapa saat, menarik nafas panjang kali lebar.

“Ayo lanjutkan! Jangan banyak senyum”, kata Abah yang sudah antipati pada Ki Linglung.

“Bah, mau nanya……kalau titiknya di atas itu nun atau ba?”, tanya Ki Linglung merasa kebingungan dengan posisi titik di huruf Arab.

“ah sudahlah…. Peserta selanjutnya!!”, teriak Abah menghentikan pengujiannya pada Ki Linglung.

Peserta ke-2 sampai 5 adalah Robin Hood, Tiger Wong, Yoko, dan Si Mata Elang. Mereka semua mampu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Abah, Ambu, maupun Neng Dedeh. Akan tetapi, ada beberapa jawaban dari mereka yang dirasa masih kurang pas dengan keinginan Abah. Jawaban Si Mata Elang masih lumayan, karena di pertanyaan terakhir mampu menyebutkan dengan lancar 25 nama Nabi.

Peserta ke-6 dan ke-7 adalah Leonardo Ninja Turtle dan Naruto, mereka diminta untuk membaca beberapa ayat Al-Qur’an, tapi keduanya gagal karena mereka memang non muslim. Peserta berikutnya adalah Jaka Sembung, yang oleh para pengamat disebut-sebut sebagai kandidat kuat pemenang Sayembara.

“Tolong sebutkan, nama Malaikat penjaga Surga?”, tanya Abah pada Jaka Sembung, memulai babak pengujian.

“Ridwan!”, jawab Jaka Sembung secepat bus patas AC.

“ok, terus nama Malaikat penjaga Neraka?”, Abah bertanya lagi setelah merasa puas dengan pertanyaan pertama.

“di Neraka tidak ada penjaganya!”, jawab Jaka Sembung dengan tingkat percaya diri yang tinggi.

“Ada! Masa tidak ada?”, kata Abah yang mulai merasa sangsi dengan kualitas pengetahuan Jaka Sembung.

“tidak ada Bah, mana ada yang mau jadi penjaga Neraka…. panas!”, jawab Jaka Sembung merasa yakin 100%.

“kamu jangan main-main!”, gertak Abah yang sudah jengkel dengan jawaban Jaka Sembung.

“sumpah Bah! Saya serius… di Neraka panas”, jawab Jaka Sembung tidak mau kalah.

“bukan panas-nya…. siapa nama Malaikatnya?!?!”, kali ini Ambu Neng Dedeh yang mengambil alih pertanyaan. Sementara Abah dan Neng Dedeh terlihat sudah merasa tidak antusias pada Jaka Sembung.

“Ya ampun kalian tidak mengerti juga…. Neraka itu panas, kan tempatnya mahluk berdosa yang disiksa!! sementara Malaikat itu mahluk suci… pastinya mereka semua ada di Surga…. masa di Neraka?”, jawab Jaka Sembung dengan sedikit argumen.

“Peserta berikutnya!!!!”, teriak Abah dengan tensi darah 170/120.

Hingga kontestan ke-8, dari setiap pertanyaan yang diajukan, saya semakin yakin bahwa Neng Dedeh  dan orang tuanya memang memilih seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang baik. Begitupun ketika Wong Fei Hung yang saya anggap sebagai saingan terberat maju sebagai kontestan nomor urut 9. Neng Dedeh  membuka Al Qur’an halaman pertama kemudian meminta Wong Fei Hung untuk membacakan surah Al Fatihah.

Dalam hati saya merasa senang, yakin bahwa Wong Fei Hung yang orang Cina pasti tidak mampu membaca tulisan Arab. Akan tetapi, tanpa diduga sama sekali, ternyata Wong Fei Hung mampu membacakannya dengan fasih dan tartil. Tidak hanya Al Fatihah, tanpa diminta dia kemudian melanjutkan hingga surah Al Baqarah. Saya tidak pernah mendengarkan sebelumnya seseorang yang membacakan Al Qur’an seindah dia. Rupanya dia adalah seorang mualaf. Menurut pengakuannya, selain mendalami kung fu, ia juga pernah menimba ilmu di sebuah Pesantren di kota Beijing. Wong Fei Hung berhasil melewati tahap pengujian ini dengan mulus dan tentunya disertai oleh decak kagum dari semua orang yang berada di ruang sidang.

Tibalah giliran saya untuk ditanya, saya sudah bersiap dengan materi agama yang akan diajukan, mudah-mudahan pertanyaannya yang ringan-ringan saja, maklum saya bukan lulusan pesantren.

“yang saya inginkan, mantu saya adalah seorang yang berilmu… terutama ilmu agama…. dilihat dari babak pertama, nilai anda 100, lalu di babak kedua anda juga menunjukkan bahwa anda lumayan mengerti agama, jadi rasanya… saya tidak perlu membuat pertanyaan mengenai hal-hal semacam itu lagi….”, kata Abah Neng Dedeh tanpa diduga.

Terus terang, saya malu mendengar hal itu. Seandainya Abah Neng Dedeh tahu kemampuan saya yang sebenarnya, pastilah dia akan kecewa telah memberikan penilaian seperti itu.

“baik Bah… terserah Abah saja…”, jawab saya dengan penuh rasa hormat.

“sudah punya calon istri?”, tanya Abah Neng Dedeh  pendek. Meskipun pendek, tapi pertanyaan itu seakan menampar pipi saya dengan monitor komputer 17 inch. Saya bingung harus menjawab apa, kalau jujur pasti kalah sayembara, kalau bohong itu pasti dosa. Tapi saya akhirnya berniat untuk jujur saja, karena memang kalau mau jujur, tanpa pertolongan Allah seharusnya saya sudah kalah di babak sebelumnya. Sekarang sudah lolos, masa sih harus melakukan kebohongan yang tidak disukai Allah, dimana rasa terima kasihnya?.

“sudah, Bah”, jawab saya akhirnya jujur, tidak peduli akan kekalahan yang sudah di depan mata. Jawaban itu membuat Neng Dedeh  yang duduk di sebelah Ambu sedikit terperangah.

“emangnya punya niat buat poligami?”, kali ini giliran Ambu yang bertanya seperti penasaran.

“poligami adalah salah satu bentuk ibadah. Dan seperti ibadah-ibadah lainnya,  poligami juga dalam pelaksanaannya memiliki persyaratan tersendiri. Secara tersirat Allah memberikan persyaratan di dalam An-Nisa ayat 3 yaitu diperlukan sikap adil jika hendak melakukan ibadah ini. Karena itulah, praktek ini kemudian bisa menjadi wajib, mustahab (dianjurkan), mubah (boleh-boleh saja), makruh bahkan haram apabila tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Sebagai seorang muslim, tentunya saya berharap dapat melaksanakan semua ibadah yang diperintahkan, tetapi saya sadar diri dengan kemampuan saya… bagi saya sepertinya akan sangat sulit, saya takut tidak dapat berlaku adil, karena itulah sampai detik ini saya tidak memiliki niat untuk berpoligami”, begitulah jawaban saya jujur dan panjang, mudah-mudahan saja dengan pengetahuan agama saya yang dangkal, jawaban tadi memanglah benar.

“terus kenapa Akang ikut sayembara, maksudnya apa?”, tiba-tiba Neng Dedeh  bertanya, sepertinya semakin bingung dengan sikap saya.

“karena harga diri… saya ditantang untuk ikut sayembara, terus terang saya mendaftar bukan karena hadiahnya”, jawab saya semakin jujur.

“Anda mau mempermainkan anak saya? Kurang cantik apa anak saya?!?!”, tanya Abah Neng Dedeh  dengan nada tinggi karena merasa tersinggung dengan jawaban saya sebelumnya.

“Maaf Bah, bagi saya Neng Dedeh  sama saja dengan wanita lainnya…”, jawab saya santai.

“Kurang ajar, berani-beraninya kamu bilang begitu sama anak Abah!!”, bentak Abah Neng Dedeh , kali ini kesabarannya sudah habis. Sementara dari sudut mata, saya melihat Neng Dedeh  menangis di pangkuan Ambu.

“tenang dulu Bah, tadi saya belum selesai bicara… maksud saya Neng Dedeh  sama saja dengan wanita yang lain, sama-sama terlalu terhormat untuk dijadikan sebagai hadiah sayembara….”, kata saya menjelaskan maksud sebenarnya, semoga dapat mengobati rasa sakit hati mereka akibat kesalahan persepsi.

Ruangan sidang mendadak hening, Abah menarik nafas panjang tapi tidak berkata sepatah katapun, sepertinya ia sedang menurunkan tensi emosinya yang sempat meledak. Sementara itu, Neng Dedeh  sudah melepaskan diri dari dekapan Ambu, ia mengusap air matanya, dan saya lihat dari wajahnya terlihat bahagia ketika tadi saya menyebut kata ‘terlalu terhormat’. Sekalipun begitu, di raut wajahnya belum terusir sinar kegalauan, begitupun dengan raut wajah Ambu.

“baiklah…. saya sangat memahami alasan anda, tapi saya tetap tidak mengerti… kalau kelak anda memenangkan sayembara, apa yang akan anda lakukan?”, tanya Abah dengan nada yang kembali bersahabat.

“saya akan kembalikan keputusannya kepada Neng Dedeh …”, jawab saya singkat.

“kalau saya memilih Akang?”, tanya Neng Dedeh  spontan, sesudah itu sepertinya dia kaget sendiri dengan pertanyaan yang terdengar benar-benar dari dalam hatinya, begitu juga Abah dan Ambu, begitu juga dengan saya. Kami semua kaget secara kompak.

“saya akan meminta Neng Dedeh  untuk bersabar, saya masih memiliki urusan penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu… setelah urusan selesai, baru saya akan istikharah untuk menentukan pilihan, dan jika dari petunjuk istikharah itu adalah Neng Dedeh , maka saya akan segera menikahi Neng Dedeh . Kalau bukan, maka kita harus ikhlas dengan petunjuk-Nya. Tapi sebelum proses itu, saya kembalikan sepenuhnya pada Neng Dedeh , jika Neng Dedeh  tidak mau menunggu atau tidak setuju dengan rencana itu, maka saya izinkan Neng Dedeh  untuk memilih lelaki selain saya… dan saya tetap menghormati apapun keputusan Neng Dedeh ”, itulah jawaban saya, lega rasanya mengatakan itu. Jawaban yang tidak pernah terlintas sedikitpun sebelumnya, tapi kini hadir benar-benar di saat yang tepat.

Ruangan sidang kembali hening, sampai pada akhirnya Abah Neng Dedeh  angkat bicara, “baiklah, rasanya semua sudah jelas… dari pertanyaan-pertanyaan kami, sebenarnya mungkin anda pun bisa menebak, sebenarnya siapa lelaki yang kami harapkan… tapi kita harus tetap mengikuti prosedur… jadi tunggulah pengumumannya, dan itu masih ada babak terakhir”.

Saya pun pamit dari ruangan sidang dengan perasaan berbunga-bunga mawar melati semuanya indah. Saya menyalami Abah dan Ambu dengan cara mencium tangannya, bukan maksud cari muka dan berusaha mempengaruhi penilaian, tapi ini murni karena menghormati mereka, yang mungkin kelak akan jadi mertua. Tapi sebelum saya sampai ke pintu keluar, Abah Neng Dedeh  bertanya lagi, “kalau boleh tahu, calon istri anda itu yang gemuk pake kerudung biru kan?”.

“oh bukan Bah, itu saudara saya…”, jawab saya cepat. Semoga mereka mengerti, semoga mereka mengerti, semoga mereka mengerti, itu kan Poleng!! Masa sama Poleng?!?!?!.